`Musim Penghujan telah tiba waspadai bencana angin puting beliung dan nyamuk eijepti bahaya penyakit DB ( Demam Berdarah )

Tuesday, July 12, 2011

Peran Gender di Masyarakat Desa Mendak Kecamatan Delanggu

Sensitif Gender Diperlakukan dalam Program Program Pembangunan
  

  

A. PENDAHULUAN

Sex atau jenis kelamin adalah hal yang paling dikaitkan dengan gender dan kodrat. Dikarenakan adanya perbedaan jenis kelamin, perempuan dan laki-laki secara kodrat berbeda satu sama lain.
Gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin atau gender bukanlah perempuan atau laki-laki. Gender hanya memuat perbedaan fungsi dan peran sosial yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada.
Gender tercipta melalui suatu proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, misalnya laki-laki yang memakai tattoo di badan dianggap hebat oleh mayarakat Dayak, akan tetapi di lingkunan komunitas lain seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima.
Gender juga berubah dari waktu ke waktu, sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contohnya dimasa lalu perempuan yang memakai celana panjang dianggap tidak pantas, sedangkan saat ini dianggap hal yang paling baik untuk perempuan yang aktif.

B. LATAR BELAKANG KEGIATAN


Dalam mayarakat tradisional pattriarkhi ( masyarakat yang selalu memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukan dan perannya dari perempuan ) kita dapat melihat adanya pemisahan yang tajam bukan pada peran gender akan tetapi juga pada sifat gender. Misalnya laki-laki dituntut untuk mempunyai sifat pemberani dan gagah perkasa sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal laki-laki maupun perempuan adalah manusia bisaa, yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dibawa sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani, penakut, tegas, pemalu, dan lain sebagainya, bisa ada pada diri siapapun, tidak peduli apakah dia  perempuan atau laki-laki. Sayangnya kontruksi di masyarakat merubah pandangan “netral” pada sifat-sifat gender tersebut.










Sejak kecil anak laki-laki sudah dipaksa untuk “tidak manusiawi”, dimana mereka dilarang untuk tidak menangis,bersifat lemah lembut dan pemalu. Ciri dan nilai-nilai tersebut dimasyarakat berkembang menjadi norma yang dikuatkan,disosialisasikan, dipertahankan bahkan terkadang dipaksakan sehingga kemudian dianggap menjadi tradisi. Konsep Subyektif tersebut lama kelamaan berkembang dalam berbagai alur kehidupan sosial masyarakat, yang mengakibatkan adanya ketimpangan antara peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan. Ketimpangan peran gender seperti ini membatasi kreatifitas, kesempatan dan ruang gerak kedua belah pihak, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Berbagi dan bertukar peran gender dalam kehidupan sehari-hari  secara harmonis dapat membangun masyarakat yang lebih terbuka dan maju, karena semua orang mempunyai kesempatan, peluang dan penghargaan yang sama saat mereka memilih pekerjan yang diinginkan. Laki-laki maupun perempuan tidak dibatasi ruang geraknya untuk memanfaatkan kemampuannya semaksimal mungkin di bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Dengan demikian peran gender yang seimbang bisa memicu semakin banyak sumber daya manusia produktif di masyarakat yang dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan bersama.

C. ALASAN DIPILIHNYA KEGIATAN


Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki  dalam menentukan keinginanya dan menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang. 












Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah tangga, presiden, buruh pabrik,sopir, pengacara, guru atau profesi lainnya. Jika kondisi-kondisi tersebut tidak terjadi pada dirinya maka dia tidak dapat dikatakan telah menikmati adanyakesetaraan gender. Kesetaraan gender ditunjukan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperolehmanfaat dari peluang-peluang yang ada disekitarnya.
Singkatnya inti dari kesetaraan gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa adanya tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari lingkunan. Bukankah keseimbangan selalu menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik ?.

D. KETIDAKADILAN GENDER

           
Ketidakadilan terjadi manakala seseorang diperlakukan berbeda ( tidak adil ) berdasarkan alasan gender. Ketidakadilan ini bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan,itulah sebabnya masalah-masalahyang berkaitan dengan gender sering diidentifikasi dengan masalah kaum perempuan.
Secara garis besar bentuk-bentuk ketidakadilan yang sering terjadi ( terutama pada perempuan ) adalah sebagai berikut :

1.       Penomorduaan ( Subordinasi )
Penomorduaan ( Subordinasi ) pada dasarnya perbedaan perlakuan terhadap salah satu identitas social, dalam hal ini terhadap perempuan. Cukup adilkah rasanya kalau menganggap dalam kultur budaya di Indonesia, perempuan masih dinomorduakan dalam banyak hal terutama dalam pengambilan keputusan. Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan umum.


2.       Pelabelan Negatif Pada Perempuan
Pada saat perempuan berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya akan sesuatu hal dengan mengemukakan alas an-alasannya dianggap dia terlalu cerewt, emosional, dan tidak berfikir rasional. Sedangkan laki-laki  berada pada posisi yang sama mungkin dianggap tegas dan berwibawa karena mempertahankan pendapatnya. Citra buruk perempuan  yang emosional, tidak rasional, lemah, pendendam, penggoda dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat. Dengan label-label seperti itu  mustahil bagi perempuan untuk dapat memperoleh kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dalam pandangan masyarakat. Perempuan akan selalu tertinggal di belakang karena dianggap memang posisi terbaiknya ada di belakang laki-laki.
3.       Peminggiran (Marginalisasi )
Di kantor-kantor staf perempuan sulit mendapatkan posisi pengambilan keputusan, perempuan dianggap masih tidak  mampu untuk melakukan tugas-tugas penting dan serius seperti menangani proyk-proyek pembangunan. Serta perempuan belum berpartisipasi aktif dalam perencanaan program-program pembangunan di daerah.
Dalam lingkup masyarakat tradisional di Indonesia, kondisi perempuan terpinggirkan dianggap lumrah dan bisaa Seperti sudah ada peraturan tidak tertulis bahwa perempuan tidak aktif diikutkan dalam pertemuan-pertemuan penting dimasyarakat, karena laki-laki yang ditempatkan pada posisi pemegang control dan pembuat keputusan.
4.       Beban Kerja Berlebih ( Multi-burdened )
Beban  kerja perempuan akan bertambahbanyak dengan kegiatan-kegiatan yang ingin dia ikuti di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk pekerjaan dan tugas didalam rumah tangganya. Sebagian yang lain terutama laki-laki khawatir jika perempuan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, mereka tidak punya waktu dan tidak bersedia lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah tangga.
Inti dari kesetaraan gender adalah saling menghargai hak-hak dan kewajiban masing-masing, saling membantu, dan berbagi peran untuk membantu meringankan pekerjaan satu sama lain, karena semua jenis pekerjaan yang dilakukan sama pntingnya. Pekerjaan domestik tidak lebih rendah posisinya dari peran public. Jika seluruh anggota keluarga aktif dalam kegiatan publik, maka mereka dapat mencari alternatif waktu dan cara bagaimana kedua peran tersebut bisa dilakukan bersama-sama, misalnya dengan mengatur waktu, tenaga dan kemampuan yang dimiliki secara maksimal ketka menjalankan peran publik maupun peran domestik karena tidak terbebani dengan “ antrian “ tugas-tugas lain yang harus dikerjakan. Komunikasi dan keterbukaan tentunya menjadi kunci untuk terciptanya kesetaraan gender, sehingga tidak ada salah satu pihak yang terpaksa harus mengalah untuk pihak lainnya.

E. SENSITIF GENDER DIPERLUKAN DALAM PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

 









Kebanyakan program-program pembangunan masihbelum memasukan komponen gender sebagai faktor penting yang mengukur keberhasilan program. Seringkali program-program tersebut dianggapsudah berhasil jika memenuhu kreteria berikut :
1.      Masyarakat lokal telah berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan.
2.      Adanya pemerataan distribusi biaya dan manfaat.
3.      Upaya-upaya pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan sudah dilakukan secara efisien.
Dengan mememuhi ketiga komponen diatas, status program yang melibatkan masyarakat memeng akan terlihat sukses. Namun jika kita melihat dari persepektif gender, bukan tidak mungkin program tersebut jauh dari tanda-tanda keberhasilan.
Tingkat partisipasi bisanya diukur dengan keterwakilan dan kontribusi ide/pendapat yang diperoleh pada saat berlangsungnya suatu program kegiatan. Jika kita memasukkan komponen gender didalamnya, beberapa kriteria diperlukan untuk melihat sejauh mana tingkat partisipasimasyarakat lokal dalam program tersebut, yaitu :
1.      Apakah perempuan mempunyai peluang yang sama besarnya dengan laki-laki untuk ikut terlibat dalam kegiatan ?
2.      Berapa prosentaseperempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut ?
3.      Dari jumlah keseluruhan program-program itu, berapa jumlah perempuan yang duduk dalam kepengurusan ?
4.      Apakah perempuan yang menjadi pengurus dalam program mempunyai akses dan control dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program ?
5.      Bagaimana tingkat keaktifan perempuan beserta program dalam kegiatan yang dilakukan  ( peserta aktif atau cuma hadir sebagai peserta pasif ).
Dengan mengetahui informasi-informasi tersebut dapat diukir sampai sejauh mana program kegiatan yang dilaksanakan telah melibatkan seluruh komponen “ masyarakat lokal “ ( termasuk perempuan ) secara aktif dalam pengambilan keputusan. Kecenderungan yang sering terjadi adalah program-program kegiatan/pembangunan didaerah hanya menghiting jumlah masyarakat yang ikut serta dalam program tanpa melihat apakah ada peran perempuan yang terlibat ataukah hanya laki-laki yang dianggap telah mewakili suatu satu keluarga, dengan label “ kepala keluarga “.
Dari uraian-uraian diatas dapat kita lihat dengan jelas bahwa kebanyakan program-program pembangunan yang ada di daerah belum berspektif terhadap gender. Absennya komponen gender dalam program pembangunan di daerah selama ini didasarkan alasan bahwa manfaat program dapat dinikmati oleh perempuan dan laki-laki dalam porsi yang sama, sehingga komponen gender tidak perlu dipermasalahkan. Padahal dalam kenyataanya banyak kendala-kendala yang menyulitkan bagi perempuan untuk memperoleh manfaa-manfaatan tersebut secara seimbang seperti yang diterima oleh laki-laki. Dengan demikian setiap program harus mempertimbangkan komponen perempuan dan laki-laki sebagai dua faktor yang sangat pentingnya terhadap keberhasilan suatu program. Hal ini dapat dilakukan secara sederhana dengan membuat data terpilah pada setiap program, mulai dari perencanaan program sampai pada evaluasinya.Listya Sudibyo, ST   (Fastek Tim 23 )  
    
·        085 229 76 0123
·        085 728 653 955
    

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More